Sastra bagi remaja perkotaan bukanlah sastra yang terwakili oleh para
sastrawan dari generasi Putu Wijaya sampai Linda Christanty sekalipun.
Sastra bagi remaja perkotaan juga bukanlah sastra koran, majalah sastra
seperti Horison, maupun jurnal-jurnal kebudayaan yang memuat cerpen,
puisi, dan esai-esai serius. Sastra remaja perkotaan adalah sastra
pergaulan yang terekspresikan dalam medium-medium baru yang melekat pada
gaya hidup mereka. Sastra remaja perkotaan saat ini adalah sesuatu yang
sama sekali terlepas dari mata rantai sejarah sastra sebelumnya.
Sejarah sastra yang saya maksud adalah sejarah sastra resmi versi para
kritikus, teoritisi, akademisi dan para sastrawan sendiri. Sejarah
sastra resmi ini sama halnya dengan sejarah pada umumnya yang berpihak
pada kepentingan kekuasaan tertentu dengan muatan subjektivitas yang
juga kental di dalam historiografi-nya. Dalam konteks remaja perkotaan
secara riil, sebenarnya apa yang disebut mainstream sastra itu bahkan
tidak eksis. Ada gap yang sangat jauh antara sastra dan kehidupan riil
remaja perkotaan sekarang.
Medium-medium ekspresi kesusasteraan dalam gaya hidup remaja perkotaan
sekarang kurang lebih merupakan sebuah dekonstruksi terhadap medium
ekspresi sebelumnya yang terjadi sebagai akibat dari perkembangan
teknologi. Pretensi menulis sebuah karya sastra tidak lagi dilandasi
oleh motivasi mimpi-mimpi besar, ide-ide pemberontakan, maupun
pemikiran-pemikiran jenial untuk mengubah dunia. Remaja perkotaan
sekarang cukup menulis di blog mereka tentang hal-hal personal
keseharian yang remeh-temeh, mengirim sms romantis pada pacarnya, atau
menciptakan syair lagu cinta yang juga sederhana saja. Itulah
medium-medium ekspresi sastra remaja perkotaan sekarang. Di sisi lain
para penulis generasi “tua” tetap asyik dengan mimpi-mimpi, keyakinan,
arogansi, dan ide-ide besar untuk melahirkan sebuah magnum opus dalam
“sejarah” kepenulisan mereka. Tanpa sadar, gap yang ada semakin curam
dan dalam, mengingatkan kita pada kritik-kritik berpuluh tahun silam
tentang ivory tower-nya para sastrawan dan seniman secara keseluruhan.
Tentu masalahnya memang tak bisa dilepaskan dari “nilai-nilai, kriteria,
teori-teori” tentang apa yang disebut dan dianggap sebagai “sastra”.
Hal ini pun adalah persoalan lama yang terus menggantung tanpa
penyelesaian. Bagi sejumlah sastrawan, sebut misalnya Seno Gumira
Ajidarma, Sapardi Djoko Damono, atau Budi Darma, apa yang disebut dan
dianggap sebagai “kriteria dan nilai-nilai” sastra adalah relatif dan
subjektif. Pandangan ini memberi ruang kebebasan yang luas untuk
menganggap dan menyebut apa itu karya sastra. Di lain pihak, masih
banyak sastrawan dan kritikus yang berpegang pada teori-teori baku yang
entah apa atau entah yang mana untuk mengategorisasikan sebuah karya
sebagai “sastra”. Pandangan inilah yang kemudian mungkin membuat
buku-buku semacam ensiklopedi sastra Indonesia tidak pernah lengkap dan
utuh. Di buku-buku itu pastilah tidak pernah ada nama Agni Amorita Dewi
misalnya, penulis cerpen remaja generasi tahun 80-an yang kerap mengisi
lembar cerpen di berbagai majalah remaja dan pernah pula menjadi
pemenang lomba cerber Femina. Di buku-buku itu pastilah tidak akan ada
nama Raditya Dika atau Aditya Mulya, dua novelis muda masa kini yang
penggemarnya menyebar di kalangan remaja perkotaan seluruh Indonesia.
Dan di buku-buku itu juga tidak pernah ada nama FX Rudy Gunawan, penulis
cerpen, esai, dan novel yang karya-karyanya juga kerap dimuat di sastra
koran (non-Kompas) dan puluhan bukunya telah diterbitkan.
Ini adalah sebuah stagnansi yang ironis. Generasi remaja sekarang merasa
tidak ada perlunya membaca karya sastra adiluhung yang tidak connect
dengan kehidupan riil mereka. Telah terjadi sebuah perubahan paradigma
yang tidak pernah diantisipasi oleh para sastrawan. Program sastra masuk
sekolah mungkin merupakan sebuah upaya yang pernah dilakukan untuk
menjembatani gap atau mencairkan stagnansi ini. Tapi karena frame yang
dibawa adalah “mindset lama” dan yang dilakukan dengan “cara lama” pula,
maka bisa dikatakan upaya ini kurang membuahkan hasil. Sejumlah SMA
yang didatangi mungkin jadi lebih mengenal sastrawan-sastrawan dan
karya-karyanya, tapi hanya sebatas itulah hasilnya. Padahal yang
dibutuhkan sekarang adalah menciptakan generasi baru pecinta sastra dan
menumbuhkan iklim atau atmosfir yang subur bagi lahirnya generasi
penulis sastra yang baru, segar, dan sama sekali berbeda.
Dalam gaya hidup remaja perkotaan sekarang, film dan musiklah yang
paling populer sebagai bagian dari kehidupan kesenian dan kebudayaan
mereka. Ini terbukti dari suksesnya novel-novel adaptasi film yang
digagas dan diterbitkan oleh penerbit spesialis novel remaja,
GagasMedia. Hampir semua novel adaptasi film-film nasional terjual
puluhan ribu kopi dalam hitungan bulan saja. Genre novel ini telah
berhasil menjadi bagian dari gaya hidup remaja perkotaan berkat
kolaborasi antara dunia film dan dunia sastra. Kolaborasi berarti sebuah
persinggungan yang nyata dengan kehidupan. Kolaborasi menjadi sebuah
pola untuk mencairkan stagnansi dan melahirkan karya yang “membumi”.
Sebuah contoh kolaborasi ideal dari dunia musik adalah grup rock gaek
Santana yang berkolaborasi dengan penyanyi remaja popular dalam tiga
album terakhir mereka yang dirilis beberapa tahun belakangan. Kesadaran
Santana sebagai grup yang melegenda untuk tetap tune in dengan
perkembangan zaman sungguh sebuah kerendahan hati yang patut diteladani
di dunia sastra kita.
Sastra seharusnya menjadi bagian dari gaya hidup remaja perkotaan karena
sastra seharusnya menjadi bagian dari kehidupan nyata termasuk
kehidupan sehari-hari dengan segala tetek-bengek persoalannya yang
mungkin cengeng, menyebalkan, dan tidak mutu. Tapi atas dasar apa
seseorang berhak men-judge seperti itu terhadap kenyataan hidup yang
nyata? Atas dasar apa seseorang atau sejumlah orang berhak menghakimi
sebuah karya? Tiada satu dasar pun yang bisa membenarkan sikap-sikap
seperti itu. Sebaliknya, justru pengikisan terhadap sikap-sikap seperti
inilah yang akan mampu mengintegrasikan sastra dalam gaya hidup remaja
perkotaan.
Gaya Hidup Remaja dan Media
Semua jenis media, baik itu Internet, televisi, film, musik, maupun
majalah, berpengaruh besar terhadap gaya hidup kita masa kini.
Kebanyakan media menginformasikan tentang gaya hidup remaja kota, yang
notabene meniru gaya hidup modern. Maka, tidak heran jika kita digiring
menjadi sangat konsumtif.
Masa remaja adalah masa pencarian identitas. Kita sebagai remaja mulai
mencari gaya hidup yang pas dan sesuai dengan selera. Kita juga mulai
mencari seorang idola atau tokoh identifikasi yang bisa dijadikan
panutan, baik dalam pencarian gaya hidup, gaya bicara, penampilan, dan
lain-lain. Imbasnya banyak kita jumpai teman-teman dengan berbagai
atributnya yang sebenarnya mereka hanya meniru-niru saja. Sadar tidak
sih kalau saat ini banyak sekali sinetron remaja yang menawarkan life
style baru? Para bintang muda yang digandrungi ternyata mampu mengubah
style remaja.
Pada masa remaja pengaruh idola memang sangat kuat. Idola atau tokoh
akan mengendalikan hidup kita yang mungkin tanpa kita sadari. Nah, di
sinilah media
Namun, apakah benar bahwa media sedemikian buruk pengaruhnya bagi
remaja? Sebenarnya tidak seratus persen demikian. Hal ini menjadi
tantangan bagi kita untuk memilah-milah atau selektif terhadap pesan
yang disampaikan oleh media. Karena, tidak bisa dimungkiri bahwa
keberadaan media mutlak diperlukan. Karena, pada suatu sisi media
memungkinkan kita untuk tahu beragam informasi, berita, penemuan, dan
hal-hal baru. Atau bisa disimpulkan bahwa sebenarnya hadirnya media
berpengaruh positif dan juga negatif.
Keberadaan media memang tidak lepas dari kepentingan pasar. Dengan
demikian, kalau kita tidak selektif terhadap pesan media, kita akan
menjadi korban media. tidak salah memang ketika kita membeli sebuah
produk berdasarkan informasi dari media. Namun, yang perlu diingat,
seberapa perlu produk yang kita beli itu bagi diri kita. Apakah kita
memang membutuhkan produk itu ataukah karena kita terpengaruh oleh
iming-iming yang disampaikan oleh media.
Remaja : Jangan memaksakan diri
tidak ada salahnya memang untuk tampil menarik seperti yang banyak
diiklankan di media, dengan sebagian produk yang ditawarkan untuk
membantu mewujudkan impian itu. Juga merupakan sesuatu yang wajar untuk
pergi berbelanja membeli barang-barang kesukaan. Namun, yang mesti kita
ingat, jangan memaksakan diri. Kalau kita ikuti perkembangan mode
pakaian, misalnya, kalau tidak pantas, ya tidak usah dibeli, sebaiknya
kita sesuaikan dengan diri kita. Singkatnya sih tidak harus mengikuti
tren yang ada, tetapi yang penting nyaman di tubuh kita. Pokoknya yang
penting kita percaya diri, nyaman dengan diri sendiri, menerima apa
adanya, love yourself. Bahkan, akan lebih oke lagi kalau kita bisa
menunjukkan kelebihan-kelebihan kita yang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar